Toleransi: Identitas yang Mulai Meluruh
Masih terekam
jelas di ingatan, ketika dulu duduk di bangku sekolah, guru mengajarkan bahwa
kita merupakan bangsa yang dikenal luas memiliki keluhuran budi. Kita merupakan
bangsa yang sangat menjunjung tinggi adab, sopan santun, persaudaraan, tepa
selira, saling menghormati, dan sebagainya. Nilai-nilai luhur tersebut telah melekat
dan menjadi identitas bangsa kita. Bahkan dunia mengakui itu. Sungguh bangga
rasanya.
Ilustrasi diambil dari https://www.experd.com/id/articles/2018/05/953/memupuk-toleransi.html |
Berangkat dari
pengamatan dangkal tersebut, saya beranjak ke kesimpulan bahwa telah terjadi
fenomena memprihatinkan pada diri kita. Nilai-nilai luhur yang telah lama
menjadi identitas kita, kini mulai meluruh, hilang oleh ulah kita sendiri. Satu
di antara identitas yang meluruh tersebut adalah toleransi.
Berbagai konflik
sosial keagamaan dan kemanusiaan yang semakin marak dan mudah terjadi
akhir-akhir ini menjadi bukti sahih akan hal tersebut. Dari hari ke hari kita
semakin sulit menerima perbedaan. Kita bersikukuh pada keakuan dan hanya fokus
pada satu sudut pandang yang kita gunakan. Kita kemudian mengabaikan sudut
pandang yang digunakan oleh orang lain. Bahkan tak jarang, kita menganggap yang
lain yang berbeda sebagai salah dan musuh.
"Perbedaan merupakan realitas kehidupan dan kehendak Tuhan yang tak bisa dinafikan. Menafikan perbedaan berarti menafikan sunnatullah dan kehendak Tuhan. Bahkan justru dengan adanya perbedaan, hidup menjadi lebih hidup, lebih berwarna, dinamis, dan mampu terus bergerak ke arah yang lebih baik. Perbedaan adalah motor penggerak kehidupan."
Padahal adanya
perbedaan merupakan hukum alam/sunnatullah.
Perbedaan merupakan realitas kehidupan dan kehendak Tuhan yang tak bisa
dinafikan. Menafikan perbedaan berarti menafikan sunnatullah dan kehendak Tuhan. Bahkan justru dengan adanya
perbedaan, hidup menjadi lebih hidup, lebih berwarna, dinamis, dan mampu terus
bergerak ke arah yang lebih baik. Perbedaan adalah motor penggerak kehidupan.
Allah Swt. dalam
Surah al-Maidah ayat 48 menegaskan hal ini: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu.”
Berdasarkan ayat
tersebut dan banyak ayat lain yang senada, kita ketahui bahwa perbedaan tidak
hanya sunnatullah tapi juga merupakan
ujian sekaligus. Melalui perbedaan Allah hendak menguji bagaimana kita
mendayagunakan anugerah-anugerah yang telah diberikan-Nya kepada kita. Apakah
kita mampu menggunakan akal kita untuk menggali dan menemukan hikmah di balik
perbedaan-perbedaan yang terhampar di alam raya ini? Apakah kita mampu
menggunakan nurani (qalb, fu’ad) kita
dalam menyikapi perbedaan di sekitar kita?
Manusia adalah
makhluk yang dianugerahi oleh Allah banyak kelebihan. Berbekal kelebihan
tersebut manusia mengemban tugas sebagai khalifatullah
di muka bumi. Manusia akan menjadi khalifatullah
yang efektif bilamana mampu mendayagunakan kelebihan-kelebihan tersebut dengan
benar. Untuk mewujudukan efektivitas tersebut dibutuhkan pengujian terhadapnya.
Perbedaan, keragaman, atau pluralitas adalah satu di antara bentuk ujian
tersebut.
Kalau hanya
masalah perbedaan saja kita tidak mampu mengelolanya dengan bijak, pantaskah
kita menyandang gelar khalifatullah?
Sungguh menggelikan dan memalukan rasanya. Dan bukankah, Islam dengan tegas
menyatakan bahwa ia hadir di bumi ini adalah untuk menebar rahmah ke seluruh alam? Yang artinya tidak ada pembedaan di
dalamnya. Selain itu juga, satu-satunya indikator yang menjadi penentu
kemuliaan manusia di sisi Tuhan adalah ketakwaannya. Bukan ras, warna kulit,
suku, dan golongan.
Dengan
mendudukkan perbedaan sebagaimana diuraikan di atas, toleransi tidak akan
menjadi hal yang sulit untuk diejawantahkan dalam kehidupan. Hanya melalui
toleransi, kebhinekaan dapat menjadi alat untuk menuju persatuan. Sayangnya,
masih banyak di antara kita yang belum sepenuhnya memahami toleransi. Sehingga
tidak jarang, akibat dari gagal paham ini kemudian memunculkan kekhawatiran
bahwa bertoleransi terhadap perbedaan akan menjadi ancaman bagi identitas.
Perlu ditekankan
di sini, bahwa toleransi tidak mentolerir tindakan-tindakan intoleran. Oleh
karena itu, orang yang toleran akan menentang keras (bahkan wajib) tindakan-tindakan
intoleran, seperti kezaliman, diskriminasi, ketidakadilan, penganiayaan, dan
sebagainya. Toleransi juga tidak akan menghapus identitas yang melekat pada
setiap entitas. Alih-alih, toleransi justru memperkuatnya. Dengan demikian,
kekhawatiran di atas bisa dikatakan tidak berdasar.
Sebagai bangsa
yang lahir dari keberagaman, memang seharusnya toleransi menjadi identitas yang
tidak boleh hilang dari kita. Toleransi juga seharusnya menjadi watak dan world view kita. Hanya dengan demikian,
persatuan dan kesatuan yang kita bangun selama ini bisa terjaga dan lestari.[]
Komentar
Posting Komentar