Daun Jati



Segerombol awan hitam pekat terlihat mengancam bergerak dari arah langit timur. Angin kencang berhembus meniup caping lebar berwarna biru lusuh yang kupakai. Sesekali langkahku terpaksa terhenti untuk memungutnya. Suara guntur terdengar sahut-menyahut semakin menggelegar. Ditambah kilatan petir yang menyala-nyala di langit membuat suasana sore itu semakin mencekam.

Tapi aku tak peduli itu semua. Kepercepat langkah kakiku menuju kebun jati di seberang sungai. Kalau sampai hari itu aku tidak mendapatkan daun jati. Maka masa depanku yang menjadi taruhan.

"Tuhan, tolong jangan biarkan hujan turun. Berilah kesempatan hamba untuk mengambil daun jati. Tolong kabulkanlah!" Hatiku khusyu' berdo'a sementara kakiku semakin cepat melangkah.

***

"Kalau beli tiga harganya dua ribu, tapi kalau beli satu harganya seribu" jelasku kepada calon pembeli daganganku. Kacang tanah rebus.

"Ya sudah, aku beli dua ribu yan"
"Alhamdulillah, ini bim, terima kasih ya" aku menyodorkan tiga bungkus kacang tanah rebus kepada Bima, teman sekelasku.

"Iya, sama-sama yan" ia menyodorkan selembar uang dua ribu rupiah. Alhamdulillah daganganku hari ini laris. Bisa untuk tambahan belanja ibu. Bisikku dalam hati.

Seperti biasanya, setiap jam istirahat aku menjajakan daganganku di depan kelas. Biasanya yang aku jual adalah kacang tanah rebus, gulali, kelereng, mlinjo rebus dan kadang-kadang gorengan. Hari itu aku hanya membawa kacang tanah rebus dan sedikit gulali. Dan Alhamdulillah semuanya sudah laku terjual. Aku bereskan tas kecil andalanku dan bersiap masuk kelas karena sebentar lagi jam istirahat akan berakhir. Belum sempat aku melangkah aku mendengar seseorang memanggil namaku.

"Yaaan, yantoo" rupanya Tari yang mamanggilku. Ia adalah ketua kelasku. Tubuhnya tambun dan berkaca mata. Biasanya kalau dia yang memanggil pasti ada keperluan penting. Ditambah lagi dia lari dengan tergopoh-gopoh. Sampai-sampai rambutnya yang dikuncir dua bergerak kesana kemari.

"Ada apa Tari?" Tanyaku setelah beberapa saat membiarkan dia mengambil nafas.
"Bu Sulis memanggil kamu, katanya disuruh menemui beliau setalah pulang sekolah di kantornya" nafas Tari masih terengah-engah. Tapi tak kupedulikan.

"Memangnya ada apa Tar? Aku berbuat salah ya? Apa aku akan dimarahi tar? " cerocosku penasaran bercampur panik tanpa mempedulikan keadaan Tari yang ngos-ngosan. Bu Sulis adalah kepala sekolahku. Beliau adalah orang paling disegani di sekolah ini.

"Entahlah, pokoknya nanti datang saja. Yuk kita masuk kelas. Sebentar lagi Pak Judin datang". Tari menarik lenganku masuk ke kelas.

Entah mengapa, perasaan tidak enak menyerang dadaku.

****

Ruangan Bu Sulis tepat berada di sebelah kantor guru. Seluruh perabot di ruangan itu tertata rapi dan terawat. Hampir tidak ada debu yang menempel. Dokumen-dokumen tersusun rapi di lemari dan di atasnya nampak piala-piala berjejer dengan gagah. Aku meringkuk di kursi yng biasanya digunakan untuk menerima tamu. Hanya detak jantungku dan bunyi jarum jam yang terdengar. Kata Pak Judin Bu Sulis sedang keluar sebentar.

Baru sepuluh menit aku duduk di ruangan ini tapi entah kenapa terasa seperti sudah satu jam. Seluruh isi ruangan kecil ini telah habis aku pandangi. Namun Bu Sulis belum datang juga. Perasaanku semakin tak karuan.

Tiba-tiba terdengar suara sepatu dari arah ruang guru. Degup jantungku bertambah kencang.

"Maaf ya Yanto, Ibu tadi ada urusan di kantor kecamatan" suara lembut Bu Sulis memecah kesunyian. Setelah meletakkan setumpuk berkas di mejanya, Bu Sulis duduk di depanku.

"Iya bu, saya juga belum lama di sini" jawabku dengan suara parau. Sambil ku genggam erat jari-jariku untuk menghilangkan kegelisahanku.

"Begini yan" Bu Sulis menyamankan posisi duduknya kemudian memasang wajah serius meskipun guratan-guratan lelah nampak jelas di wajah teduhnya. "Ibu sebenarnya bingung bagaimana harus menyampaikan ini, tapi tetap harus ibu sampaikan" aku semakin bingung dan resah mendengar kata-kata Bu Sulis.

"Memangnya ada apa bu?" Aku tidak tahan dengan rasa penasaranku.
"Kamu kan sudah kelas enam, tapi ibu amati dan menurut guru-guru yang lain nilaimu semakin menurun. Biasanya kamu kan selalu dapat ranking. Sebentar lagi ujian jangan sampai kamu tidak lulus, kasihan orangtuamu" suara bu Sulis terdengar berat. Raut wajahnya terlihat serius dan prihatin.
"Iya bu maaf" semakin erat aku menggenggam jari-jariku. Mataku terasa panas dan berair.
"Lebih rajin lagi ya nak belajarnya". Bu sulis memberi penekanan di setiap kata-katanya.
"Ada satu hal lagi yang ingin ibu sampaikan. Kata Bu Ranti kamu selama kelas enam ini belum membayar SPP dan masih ada tunggakan dari kelas lima".

Hal inilah yang aku khawatirkan. Masalah biaya. Dadaku semakin terasa sesak. Terbayang wajah ibuku yang terbaring lemah di rumah.

***

Kata-kata bu Sulis masih terus terngiang di telingaku. Terik matahari siang itu tak kupedulikan. Aku terus bergegas melangkahkan kakiku menuju kios pengepul barang bekas milik tetangga sebelah, Pak Bishri.

Setiap hari sepulang sekolah aku memang selalu mampir dulu ke tempat itu. Bantu-bantu sekedarnya jika Pak Bishri sedang membutuhkan tenaga tambahan. Biasanya menjelang Ashar aku sudah disuruh pulang. Dan ada saja yang aku bawa. Kadang beras, pisang, gorengan, roti, dan nasi atau lauknya saja. Pak Bishri selalu membantu kami saat kami sedang kesusahan. Sampai aku dan ibuku merasa sungkan.

Sesampainya di rumah ku lihat ibu sedang tertidur lelap di ranjang bambu kecil yang biasanya digunakan untuk menerima tamu. Sejenak kuperhatikan tubuh ringkih ibuku yang meringkuk kelelahan. Andai saja Bapak masih hidup tentu Ibu tidak perlu banting tulang begini untuk menghidupi aku dan adikku. Tentu ibu tak akan sakit-sakitan begini. Tentu aku dan adikku akan bebas bermain seperti anak-anak yang lain di sini. Tuhan kenapa Kau tega sekali mengambil Bapak dari kami. Mataku kembali terasa panas.

"Sudah pulang yan?" Aku tersentak oleh suara rapuh ibuku. Rupanya dia sadar sedang ku perhatikan.
"Iya bu" jawabku segera mendekatinya. Ku tempelkan telapak tanganku di dahinya. Panas sekali. "Ibu sudah minum obat?" Tanyaku panik.
"Sudah yan" matanya kembali terpejam.
"Aku buatkan bubur ya bu? Ini juga ada pisang dari Pak Bishri" aku mnyodorkan sesisir pisang raja pemberian Pak Bishri tadi.
"Kamu masih ke Pak Bishri? Kan ibu sudah bilang jangan merepotkan beliau lagi"
"Yanto hanya ingin membalas kebaikan Pak Bishri bu, Yanto merasa tidak enak sudah sering dibantu"
Ibu terdiam sejenak. Air kesedihan nampak tergurat di wajah pucatnya. "Maafkan ibu ya nak" ucapnya parau.

***

Setelah memastikan Ibu makan bubur buatanku dan kembali istirahat, aku menitipkan adikku kepada mbak Ria, putri sulung Pak Bishri. Setelah itu aku bergegas menuju kebun Jati di ujung desa untuk memetik beberapa daun dan mengumpulkan ranting-ranting kering jika ada. Sore ini aku harus memetik sebanyak mungkin daun jati dan mengumpulkan ranting-ranting kering sebanyak-banyaknya agar besok aku bisa membelikan obat untuk ibu dan membayar sebagian tunggakan uang sekolahku.

Di tengah cuaca sore yang mencekam itu aku memacu langkah kecilku. Gelegar suara guntur dan kilatan petir tak kuhiraukan. Awan hitam dari arah timur itu kini sudah menyelimuti langit desaku. Sebenarnya tadi aku dilarang oleh mbk Ria pergi ke kebun jati. Katanya akan turun hujan lebat dan kemungkinan berangin. Tapi aku bersikeras pergi agar aku tetap bisa sekolah.

Jika besok aku tidak bisa membayar tunggakan biaya tahun lalu, kata bu Sulis dengan sangat terpaksa aku tidak bisa ikut ujian nasional. Pihak sekolah pun tidak bisa membantu banyak karena memang sedang tidak ada dana. Maklum sekolahku adalah sekolah swasta kecil dengan murid yang sedikit.

Hasil jualanku sehari-hari hanya cukup untuk membeli bahan makanan saja. Sementara hasil buruh mencuci dan buruh berkebun ibuku digunakan untuk membeli susu adikku dan membayar hutang. Sedangkan untuk biaya sekolah, aku setiap hari minggu menjual daun jati dan ranting-ranting kering ke pasar. Itu pun masih sangat kurang.

Dengan penuh tekat dan keberanian yang dipaksakan, akhirnya aku sampai di tepi sungai. Di seberang sana nampak pohon jati bergoyang kesana kemari akibat diterjang angin. Gerimis pun mulai turun. Sungai ini adalah batas pemisah desaku dengan desa lainnya. Hanya ada jembatan bambu lapuk sebagai akses penyebrangan. Gerimis semakin lebat dan berganti menjadi hujan.

Aku beranikan diri melangkah di jembatan sempit itu. Baru lima langkah ku hentikan kakiku. Terpaan angin semakin kencang sehingga membuat jembatan bergoyang-goyang. Hatiku semakin menciut. Sekuat tenaga aku berpegangan pada tali jembatan. Ya Allah lindungilah hamba. Hujan semakin deras.

"Yantoo, yantooo,,," sayup-sayup terdengar suara memanggilku. Sepertinya aku kenal suara itu. "Yantooo...kamu sedang apa di situ? Ayo pulang!" Ternyata benar, Pak Bishri. Ia berdiri di bawah pohon beringin tua di tepi sungai sambil memegang payung dan menjinjing sarungnya.

"Saya mau ke seberang pak" aku masih berpegangan erat pada tali jembatan rapuh itu.
"Kamu sudah gila ya, ayo pulang sebentar lagi air sungai pasti naik dan jembatanya akan tenggelam". Pak Bishri bergerak mendekatiku. Pada saat yang sama aku rasakan air sungai mulai menyentuh kakiku.
"Tapi pak, saya harus memetik daun jati". Aku masih bersikeras ingin pergi ke kebun jati di seberang sana.
"Apa kamu ingin mati? Kamu tidak peduli lagi sama ibu dan adikmu?" Pak Bishri kini tepat berada di belakangku, di ujung jembatan. Mendengar kata-kata pak Bishri luluh juga pendirianku. Aku beringsut kembali ke tepi sungai. Baru beberapa langkah, aku merasakan ada yang aneh dengan jembatan bambu ini. Goyangan jembatan semakin kencang.
"Awas Yanto...!!" Teriak Pak Bishri. Pada saat yang sama tali jembatan di seberang sana putus. Jembatan ringkih itu kemudian terseret arus sungai. Aku panik, takut, dan gemetar.
"Pak toloong...!! Teriakku sekuat tenaga. Pak Bishri dengan cekatan memegang tali jembatan di depannya kemudian merayap pelan-pelan mendekatiku.
"Tenang yan, pegangan yang erat" tubuh tambun Pak Bishri perlahan sampai di depanku. Ia ulurkan tangannya. "Ayo pegang tanganku yan" aku sekuat tenaga menggapai tangan Pak Bishri. Dengan sigap Pak Bishri manarikku dan kembali merayap pelan menuju tepi sungai.

Pak Bishri segera memayungi tubuh kecilku. Bagian tengah jembatan sudah tak terlihat lagi. Hanya keruhnya air sungai yang terhampar di sana. Hujan bukannya reda justru semakin deras dan menggila. Kami bergerak cepat menuju rumah.

***

"Ya Allah, Yanto...apa yang ada di pikiranmu?" Ibu menjewer telingaku keras sekali serasa mau patah saja. Aku hanya meringis menahan sakit. Tak terasa air mata menetes di pipiku. Bukan karena jeweran ibu, tapi karena aku melihat ibu juga meneteskan air matanya.
Mbak Ria berusaha menenangkan Ibu. Tapi sia-sia, ibu tetap saja menangis. Entah bagaimana perasaan ibu, aku tidak tahu, yang jelas aku yakin Ibu sangat mengkhawatirkan aku.
"Sudah mbak Minah tenang, biar urusan biaya sekolah Yanto pakai uang saya dulu saja" Pak Bishri turut menenangkan Ibu sambil menarik tubuh kecilku agar telingaku lepas dari jeweran Ibu.
"Jangan pak, kami sudah terlalu merepotkan bapak dan mbak Ria"
"Tidak ada yang merasa direpoti mbak Minah. Kalau kami bisa ya kami bantu". Mbak Ria menambahi.

Setelah perdebatan yang alot, akhirnya Ibuku mengalah. Untuk sementara biaya sekolahku ditanggung pak Bishri. Kami boleh membayarnya kapanpun jika kami sudah punya cukup uang. Bertambah besarlah rasa sungkan kami kepada Pak Bishri. Sampai mati pun mungkin kami tak kan bisa membalas kebaikannya.

***

Hari ini adalah upacara kelulusanku. Ku lihat semua wajah teman-temanku dan orang tua mereka yang hadir di sini menampakkan ekspresi yang sama, bahagia dan bangga. Sementara aku, entah bagaimana perasaanku terlalu rumit untuk dikatakan. Mungkin hanya orangtuaku saja yang tidak hadir hari ini. Ibuku tidak bisa hadir karena harus bekerja di kebun jagung tetangga. Yah paling tidak akhirnya aku bisa menyelesaikan sekolahku. Meskipun biayanya adalah hasil pinjaman. Mungkin itulah yang membuatku enggan untuk merasa bangga.

Beberapa hari sebelumnya wali kelasku memberikan brosur-brosur penerimaan siswa baru dari beberapa sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah di sekitar kecamatan. Semua temanku sibuk menentukan sekolah mana yang hendak mereka masuki. Aku sendiri juga ingin sekali melanjutkan sekolah di madrasah tsanawiyah yang menjadi sekolah unggulan di kecamatanku. Begitu brosurnya dibagikan segera saja aku isi. Padahal brosur itu dikumpulkan setelah upacara kelulusan.

Begitu upacara kelulusan yang terasa sangat sakral itu selesai, kami disuruh berkumpul di kelas untuk mendengarkan beberapa pengumuman penting dari guru dan mengumpulkan brosur yang sebelumnya kami isi.
"Anak-anak setelah ini silahkan berkumpul di dalam kelas" wali kelasku memberi penguman dari atas panggung.
"Yan, kamu jadi kan melanjutkan di MTs?" suara Bima membuyarkan lamunanku. Aku hanya membalasnya dengan senyum datar.

Bu Rani kemudian memberi pengarahan kepada kami bagaimana caranya mendaftarkan diri di sekolah-sekolah yang brosurnya sudah kami isi. Setalah itu beliau mengumumkan kapan ijasah bisa diambil dan berpesan kepada kami untuk selalu jujur dan rajin belajar.

"Nah sekarang silahkan brosurnya dikumpulkan. Untuk yang melanjutkan ke SMP kumpulkan di sebelah kanan dan untuk yang melanjutkan ke MTs dikumpulkan di sebelah kiri". Kata Bu Rani mengakhiri pengumumannya.

Semua teman-temanku bergegas menyerbu bangku Bu Rani. Hanya aku yang masih duduk terpaku di bangku sambil meremas erat brosur yang sudah ku isi. Entah mengapa dadaku terasa sakit sekali. Bayangan wajah sayu Ibu melintas di benakku. Ku usap kedua mataku supaya rasa panas itu tidak berubah menjadi air. Perlahan kujatuhkan brosur itu ke lantai. Dan dengan segala perasaan yang tak tercurahkan, perlahan kakiku menginjak brosur lusuh itu.

***

Bojonegoro, 13 Desember 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Toleransi: Identitas yang Mulai Meluruh

Metode Pembelajaran "My Lucky Number"

Pendidikan yang Membebaskan