Hakikat Kebahagiaan Hidup

"Dunia sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi seluruh dunia tidak akan mampu memenuhi kerakusan manusia" (Mahatma Gandhi).

Apa yang dikatakan Mahatma Gandhi tersebut agaknya telah merepresentasikan realitas yang ada di sekitar kita dewasa ini. Betapa tidak, seiring derasnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pergeseran paradigma dan pola hidup manusia telah melahirkan budaya-budaya baru yang memberikan porsi besar pada sikap memprioritaskan keinginan daripada kebutuhan.
Dampak dari membudayanya sikap tersebut adalah semakin mengakarnya gaya hidup konsumtif, hedonis, dan glamour. Parameter kehidupan pun menjadi bergeser. Menurut manusia modern, semakin banyak harta yang dimiliki, semakin tinggi pangkat dan derajat sosialnya, maka semakin bahagialah mereka. Semakin banyak tumpukan hartanya, semakin tenteram dan tenanglah mereka. Sehingga mereka  berlomba-lomba menumpuk harta, meraih jabatan dan pangkat setinggi-tingginya demi memperoleh rasa bahagia.
Namun ironisnya, dalam upayanya menumpuk harta tersebut manusia modern tanpa disadari justru menjauh dari kebahagiaan. Mereka lupa bahwa bahagia adalah perasaan, bukan benda. Bahagia adalah sesuatu yang bersifat ruhani, bukan jasmani. Aspek jasmani hanya sebagai perantara semata.  Mereka lupa bahwa pada hakikatnya diri mereka adalah apa yang ada di dalam jasad mereka (ruh). Aspek ruh dalam diri mereka itulah yang merasakan kebahagiaan.
Oleh karena bahagia bersifat ruhani, maka untuk meraihnya diperlukan usaha yang bersifat ruhani pula. Usaha tersebut adalah dengan merubah modal-modal materi yang setiap hari mereka tumpuk itu menjadi modal rohani. Yaitu dengan membelanjakannya di jalan Tuhan. Bukankah Allah SWT dengan jelas telah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 195:

وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  




“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”
Berdasarkan ayat di atas, jika manusia mau mendapatkan kebahagiaan, langkah yang perlu dilakukan bukanlah hanya menumpuk-numpuk harta dan mempertinggi jabatan, tapi dengan membelanjakan apa yang sudah dimiliki di jalan Allah. Dengan memberikannya kepada siapapun yang lebih berhak dan lebih membutuhkan. Intinya, jika mau bahagia harus memberikan kebahagiaan kepada orang lain.
Dari ayat ini pula kita ketahui bahwa, seberapa bahagia kita tergantung seberapa baik kita kepada orang lain.
Wallahu A’lam []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Toleransi: Identitas yang Mulai Meluruh

Metode Pembelajaran "My Lucky Number"

Pendidikan yang Membebaskan