Pendidikan yang Membebaskan
Realita
bahwa dunia pendidikan nasional masih terjerembab di dalam kubangan
permasalahan telah menjadi perhatian serius berbagai kalangan dari awal bangsa
ini berdiri hingga sekarang, dan bahkan sangat mungkin di masa yang akan
datang. Namun, di balik pembahasan berkepanjangan ini sebenarnya terselip
sebuah kekhawatiran yang agaknya patut untuk mendapat perhatian. Pembahasan
masalah yang berkepanjangan justru seolah mengesankan masalah yang dihadapi
tidak memiliki muara penyelesaian. Kesan ini lama-lama tanpa disadari akan
melahirkan sikap psimis terhadap harapan terpecahnya permasalahan pendidikan
nasional.
Sikap psimis ini menjadi berbahaya
manakala menghinggapi generasi muda yang tak lain merupakan obyek pembahasan
problematika pendidikan. Bagaimana tidak? Tengoklah ada berapa banyak essai, artikel
atau tulisan-tulisan lainnya yang “mengeluhkan” fenomena kemerosotan moral
generasi muda?, mulai dari penyalahgunaan narkoba, seks bebas, konsumsi miras,
balapan liar, tawuran, dan seabrek kenakalan-kenakalan lainnya. Tulisan-tulisan
ini hampir setiap hari membanjiri media cetak, elektronik, dan tak terkecuali
media sosial. Generasi muda menjadi pihak yang tersudutkan dan terpinggirkan.
Tidak berhenti di situ saja, pembahasan tulisan kemudian beranjak mencari
“kambing hitam” di balik fenomena kemerosotan moral ini. Lalu kemudian si
penulis meminta pertanggungjawaban pihak yang dianggap sebagai “kambing hitam”
tersebut. Maka, sebagai akibat dari tulisan-tulisan ini adalah munculnya
fenomena stereotype atau pelabelan terhadap generasi muda.
Stereotype atau pelabelan inilah yang menjadi
pemicu lahirnya psimisme. Kemudian, dari rahim psimisme ini—jika memang
dibiarkan berlarut-larut—akan munculkan sikap “menakutkan” lainnya, yaitu
apatisme. Sikap psimis dan apatis inilah yang akan “membunuh” Indonesia di masa
depan, jika dibiarkan menyerang generasi muda. Bukankah jamak dikatakan bahwa
masa depan bangsa ini berada di tangan generasi muda? Lalu mengapa justru
mereka kita pendam optimismenya dengan stereotype terselubung di atas?
Bukankah pendidikan seringkali kita definisikan sebagai usaha untuk
mendewasakan? Lalu mengapa justru mereka kita kerdilkan?. Maka pada tataran
inilah peran strategis pendidikan diperlukan. Pendidikan memiliki tugas utama
membangun optimisme masa depan. Tak terkecuali bagi mereka para generasi muda
yang sudah terlanjur “salah jalan”. Pendidikan harus mampu menyalakan api
harapan di dalam diri para generasi muda, terlepas bagaimanapun background mereka.
Pendidikan harus mampu membebaskan. Membebaskan generasi muda dari belenggu
psimisme masa depan.
Komentar
Posting Komentar