Tujuan Pendidikan dalam Perspektif Islam
![]() |
Potret Proses Pembelajaran di MIT Terpadu Ar-Roihan Lawang |
Peningkatan mutu pendidikan merupakan persoalan bangsa yang selalu
menjadi pekerjaan rumah bagi setiap rezim pemerintahan. Hal ini karena,
pendidikan merupakan sektor sentral dalam upaya pembangunan terutama
pembangunan manusia. Semakin berkualitas Sumber Daya Manusia (SDM) maka akan
semakin berkualitas pula suatu bangsa. Namun dari masa ke masa, upaya
peningkatan mutu pendidikan di negeri ini belum terasa dampaknya secara
signifikan. Sebagaimana diketahui, bahwa dunia pendidikan kita masih saja harus
menghadapi dan menyelesaikan berbagai problematika yang sama dari tahun ke
tahun. Problematika
tersebut terkait dengan sistem pendidikan, kurikulum, kualitas lulusan,
profesinoalitas, kesejahteraan dan integritas pendidik, infrastruktur, biaya,
serta akuntabilitas lembaga dan pengelola pendidikan.
Terlepas dari problematika
tersebut, dunia pendidikan di Indonesia juga sedang dihadapkan dengan
permasalahan dekadensi moral yang melanda peserta didik. Nilai-nilai luhur
bangsa seperti kesopanan, keramahan, tenggang rasa, rendah hati, suka menolong,
solidaritas dan sebagainya semakin memudar di kalangan generasi muda. Kondisi
ini semakin diperparah dengan kondisi lingkungan sosial yang tidak lagi
representatif sebagai tempat belajar bagi mereka. Hilangnya keteladanan
pemimpin, sering terjadinya pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang
jauh dari kebenaran universal, dan larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan
negara adalah sederet fenomena yang akrab di telinga generasi muda.
Berbagai permasalahan di atas,
seberapapun rumitnya, mau tidak mau harus tetap dihadapi dan diselesaikan oleh
pemerintah, satuan pendidikan, dan masyarakat demi masa depan bangsa yang lebih
baik. Apalagi bangsa ini dalam tiga puluh tahun mendatang dihadapkan dengan
bonus demografi yang bak pisau bermata dua. Satu di antara upaya yang harus
pula dilakukan adalah dengan melakukan reorientasi sistem pendidikan yang telah
berjalan. Reorientasi ini penting untuk menakar seberapa relevan sisitem
pendidikan yang tengah berjalan dengan tantangan dan kebutuhan zaman di masa
yang akan datang. Reorientasi dapat dimulai dengan menilik kembali tujuan dari
pendidikan. Dalam hal ini pautu kiranya, konsep tujuan pendidikan dalam Islam
dijadikan referensi.
Secara makro pendidikan Islam memiliki tiga macam tujuan yaitu: pertama,
untuk menyelamatkan dan melindungi fitrah manusia. Dalam pengertian yang
lebih luas, bahwa menurut aqidah Islamiyah, bahwa setiap manusia yang lahir ke permukaan bumi
ini selalu berada dalam kondisi fitrah, yang memiliki kecenderungan beriman
terhadap ke-Esaan Tuhan, yang secara naluri cenderung untuk mengikuti kebaikan
dan kebenaran. Dalam perjalanan hidup manusia, fitrah tersebut seringkali
megalami gangguan, baik gangguan yang timbul dari dalam diri manusia itu
sendiri (faktor internal), maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Untuk
menyelamatkan dan melindungi fitrah manusia tersebut diperlukan proses
pendidikan seoanjang hidup (long life education), sejak lahir sampai
masuk liang kubur (min al-mahdi ila al-mahdi).
Kedua,
untuk mengembangkan potensi-potensi fithrah
manusia. Menurut ajaran Islam, manusia dibekali seperangkat potensi dan
kemampuan yang luar biasa oleh Allah, berupa fisik, naluri, panca indera, akal
fikiran, hati nurani, dan agama.Potensi-potensi tersebut menyebabkan manusia
mimiliki kemampuan yang jauh lebih besar disbanding dengan makhluk
lainnya.Manusia dapat menjadi makhluk berbudaya, makhluk yangmenciptakan
peradaban dan mampu mengelola kekuatan dan kekayaan alam khususnya yang ada di
bumi. Maka untuk mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia agar menjadi
kompeten melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di bumi, dibutuhkan
pengetahuan dan keahlian yang bermacam-macam, dibutuhkan pengetahuan dan
pengalaman yang memadai, dan semuanya itu membutuhkan pendidikan dan pelatihan
dalam berbagai tingkatan dan disiplin ilmu pengetahuan.
Ketiga,
menyelaraskan langkah perjalanan
fitrah mukhallaqah (manusia fitrah) dengan rambu-rambu fitrah munazzalah
(agama fitrah/agama Islam) dalam semua aspek kehidupannya, sehingga manusia
dapat lestari hidup di atas jalur kehidupan yang benar, atau di atas jalur “as-shirath
al-mustaqim”. Manusia akan menemukan kebahagiaan dan kedamaian haqiqi
apabila dalam segala aspek terjang hidupnya sesuai dengan arahan dari agama
Allah (agama Islam). Apabila manusia menemukan kebahagiaan di luar jalur yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, maka kedamaian itu sifatnya hanya semu belaka
(tidak langgeng). Untuk menumbuhkan kesadaran demikian, diperlukan proses yang
dinamakan pendidikan. Manusia perlu dididik dan dibina agar dalam perjalanan
hidupnya sesuai dengan arahan agama Allah.[1]
Mengacu pada tujuan pendidikan
sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam pandangan Islam, belajar memiliki
dimensi tauhid, yaitu dimensi dialektika horizontal dan ketundukan vertikal.
Dalam dimensi dialektika horizontal, belajar menurut pandangan Islam tidak
berbeda dengan teori belajar pada umumnya, yang tak terpisahkan dengan
pengembangan sains dan teknologi (menggali, memahami dan mengembangkan
ayat-ayat Allah). Selain dimensi dialektika horizontal ini, menurut Islam
kegiatan belajar harus mampu mengantarkan pebelajar untuk semakin mendekatkan
diri kepada Tuhannya. Dimensi inilah yang disebut dimensi ketundukan vertikal. Dalam
kaitan inilah, pendidikan hati (qalb) sangat dituntut agar membawa manfaat
yang besar bagi umat manusia dan juga lingkungannya, bukan kerusakan dan
kezaliman, dan ini merupakan perwujudan dari ketundukan vertikal tadi.
Jadi, belajar di dalam
perspektif Islam juga mencakup lingkup kognitif (domain cognitive),
lingkup efektif (domain affective) dan lingkup psikomotor (domain
motor-skill). Tiga ranah atau lingkup tersebut sering diungkapkan dengan
istilah: Ilmu amaliah, amal ilmiah dalam jiwa imaniah.
[1] Masykuri Bakri &
Nur Wakhid, Quo Vadis Pendidikan Islam
Klasik Perspektif Intelektual Muslim, 2010, Surabaya: Visipress Media, hlm.
7-8.
Komentar
Posting Komentar